Dalam hal produk kebudayaan, seperti pakain, musik, atau film, kenyataannya tak jua berbeda.
Pada pemerintahan Bung Karno, musik yang disebut 'ngak-ngik-ngok' tak pantas
beredar di tengah khalayak luas. Maka segunung piringan hitam berisi pelbagai
kelompok musik -terutama menyangkut lagu-lagu The Beatles- giat dimusnahkan. Hal demikian tak hanya terjadi di Indonesia, dan tak pula menimpa jagat musik belaka. Film niscaya jadi korban pengharaman pula.
Mari tengok sebentar beberapa film yang jadi obyek pelarangan:
"I Spit on Your Grave"
Film bercerita tentang penulis perempuan yang menyendiri ke pedesaan untuk menyelesaikan sebuah novel. Ia lantas bertemu dengan empat pemuda setempat, yang lantas menculik, memerkosa, serta berupaya membunuhnya. Si korban lantas melakukan pembalasan dendam.
Pelarangan berkaitan dengan gambar-gambar penuh adegan seksual eksplisit dan
berdarah-darah. Karya itu tak bisa ditayangkan di Finlandia (2006), Australia
(1997-2004), China, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, New Zealand, Kanada, Islandia, Norwegia, Jerman Barat, Irlandia (2002), dan Inggris (1984-2001).
"Cannibal Holocaust"
Seorang sutradara beserta anak buah mengunjungi hutan lebat Amazon demi
memproduksi film dokumenter tentang suku setempat. Mereka lalu hilang secara
misterius. Ada antropolog yang kemudian menelusuri jejak mereka. Ia akhirnya
menemukan rol film tim itu dan menemukan penyebab kejadian.
Terlepas dari penyiksaan terhadap hewan yang benar-benar terjadi, "Cannibal
Holocaust" dimejahijaukan karena dianggap memasukkan adegan nyata. Para aktor yang tewas di dalam film telah menandatangani kontrak yang berbunyi: setahun setelah produksi, tak ada material yang boleh dipublikasikan. Sutradara
Ruggero Deodato berkeras meyakinkan bahwa tak ada adegan nyata dalam film. Untuk membuktikan hal itu dan menghindari penjara seumur hidup, ia terpaksa memutuskan kontrak.
Negara-negara yang melarang di antaranya: Singapura, Australia, Norwegia
(1984-2005), Finlandia (1984-2001), Malaysia, Filipina, dan Selandia Baru (2006), Irlandia dan Islandia (1984-2006), Jerman Barat dan Italia (1980-1984), dan Inggris (1984-2001).
"A Clockwork Orange" (1971)
Diadaptasi dari novel karya penulis kawakan Anthony Burgess, "A Clockwork Orange" dilarang tayang di Irlandia (1971-2000), Inggris - oleh sang sutradaranya, Stanley Kubrick - (1973-1999), Singapura, Malaysia, Korea Selatan dan Spanyol. Film berkisah tentang pemuda Alex dan kawan-kawan yang kerap membunuh serta semaunya melakukan perkosaan.
Di Inggris, Kubrick menarik sendiri filmnya karena mendapat imbauan polisi, yang
menyatakan bahwa ada beberapa pihak melontarkan ancaman kepadanya serta
keluarga.
"The Texas Chainsaw Massacre" (1974)
Film ini terinspirasi dari kisah nyata seorang pembunuh bernama Ed Gein yang gemar mengenakan kulit manusia sebagai pakaian. Namun demikian, sang pembantai tak pernah menggunakan gergaji mesin sebagai alat pencabut nyawa.
"The Texas Chainsaw Massacre" gagal terbit di Finlandia (1984), Inggris, Brazil, Australia, Jerman Barat, Chili, Islandia, Irlandia, Norwegia, Singapura, dan Swedia.
"The Exorcist" (1973)
Dianggap sebagai salah satu film horor paling sering memantik perdebatan, "The
Exorcist" berkisah tentang gadis berusia 12 tahun yang kesurupan serta dua pendeta yang berupaya mengusir sang iblis dari jiwanya. Malaysia, Inggris dan Singapura memutuskan tak mengizinkan pemutaran film itu di dalam negeri.
Tapi, panitia Oscar justru menganggap "The Exorcist" adalah karya brilian. 10 Oscar dinominasikan bagi film itu. Akhirnya, "The Exorcist" mendapatkan dua Oscar untuk Skenario dan Musik terbaik.
"The Last Tango in Paris" (1973)
Seorang perempuan muda Paris (dimainkan oleh Maria Schneider) main serong dengan pebisnis Amerika paruh baya (diperankan dengan ciamik oleh Marlon Brando). Hubungan mereka hanya berdasar atas desakan nafsu seksual. Keduanya menolak untuk mengetahui nama masing-masing.
Film itu jadi terkenal karena adegan-adegan seksual teramat vulgar menggunakan mentega, yang menghantui Schneider di kehidupan nyata. Kepada New York Post, ia mengaku pada tahun 2007, "Saya merasa dipermalukan dan, sejujurnya, agak merasakan adanya perkosaan. Syukurlah cuma sekali take. Sejak itu, saya tak lagi memasak dengan mentega. Saya cuma memakai minyak zaitun."
"The Last Tango in Paris" tak boleh diputar di Italia (1972-1986), Singapura, Selandia Baru, Portugal (1973-1974) dan Korea Selatan. (eh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar